Selasa, 19 Juli 2011

Mendengarkan Kesunyian


Terlepas dari ribut-ribut panjang antara yang pro dan kontra tentang keberadaan Allah, sebenarnya isunya lebih sederhana – yaitu kenyataan pengalaman yang melebihi teori (baca: doktrin).  Faktanya adalah ini: Allah tidak berjalan masuk ke ruang tamu kita, duduk-duduk di sofa dan berbicara kepada kita.

Tentu saja, ketidakhadiran atau “diamnya” Allah, adalah amunisi bagi mereka yang menentang keberadaan Allah.  Allah sepertinya mewahyukan diri-Nya dalam cara-cara yang ambigu: berbicara dengan suara kecil, kebetulan-kebetulan yang menarik, sebuah buku kuno (penuh dengan cerita-cerita dari masa lampau di mana Ia dikatakan datang kepada manusia secara nyata).  Jika Ia eksis, mengapa Allah tidak datang saja langsung untuk memerintah dan menunjukkan diri-Nya sekarang?  Jawaban logisnya, adalah karena Ia tidak eksis.
Namun sesungguhnya, “diamnya” Allah bukanlah masalah utama.  Masalahnya adalah pengalaman.  Yaitu pengalaman orang-orang yang mengatakan kepada anda bahwa ada Allah yang mengasihi anda, lalu anda berusaha mencari-Nya namun anda tidak dapat menemukan-Nya.  Ini kenyataan yang memahitkan hidup. Dan akhirnya anda sampai pada titik: “Ia tidak berbicara kepada saya, maka saya juga tidak akan bicara kepada-Nya.”
Kadang-kadang orang Kristen juga berhadapan dengan kesunyian.  Ketika hal itu terjadi, kita juga bertanya apakah Ia hadir bagi kita?  Bukankah kita juga pernah melewati hal seperti ini.  Di saat-saat seperti ini, kutipan dari rahib Cistercian bergema bagi kita: “Silence is the very Presence of God – always there. But activity hides it. We need to leave activity long enough to discover the Presence – then we can return to activity with it. [1]

Kesunyian selalu melingkupi dan tidak pernah meninggalkan anda. Ia hanya tersembunyi.  Ironisnya, kesunyian diredam oleh suara.  Kesunyian tidak pernah hilang, ia hanya menunggu anda untuk menghentikan keriuhan dan memasang telinga untuk mendengar.

Celakanya, dari semua orang yang pernah hidup di dunia, kitalah yang paling menderita di dalam menemukan kesunyian.  Kita mendengar musik, bunyi TV, motor/mobil berkeliaran, suara istri dan anak kita, derai tawa tetangga rumah, semuanya berebut masuk ke telinga kita.  Bahkan di saat kita bisa mendapatkan kesunyian, malah pikiran kita tetap berisik.  Pikiran kita meng-echo, bahkan membunuh kesunyian.  Jangan-jangan dikarenakan kita mulai takut dengan kesunyian.  Kesunyian menjadi sesuatu yang aneh, asing dan menakutkan. Seperti hidup dalam kehampaan.

Bagaimana dengan Allah?  Apakah Allah seperti gambaran guru, yang berdiri diam-diam di muka kelas, menunggu seluruh kelas yang ribut untuk duduk diam sebelum memulai pelajaran?  Di sini kita bisa memahami diam-Nya Allah, bukan karena Ia pada hakekatnya diam, tetapi karena kita menolak untuk meredam “ributnya” kita.

Ada 2 solusi untuk hal ini dalam tradisi kekristenan.  Pertama adalah solusi dari rahib-rahib Cistercian.  Mengeluarkan keriuhan secara perlahan dan menanti hadirat-Nya.  Kutipan selanjutnya dari rahib Cistercian: “… I went out on the balcony… The Lord came in power. My whole being longed to be dissolved and be in complete union…. I finally went to bed and continued in the Presence. How I wish my every moment could be in this painful, sweet state.” [2]

Hal itu mungkin cocok bagi rahib Cistercian.  Tapi sulit bagi kebanyakan kita untuk sampai ke sana.  Solusi kedua mungkin lebih mudah bagi kita.  Yaitu meneruskan tradisi yang Ia sudah berikan kepada kita sebagai “megafon” untuk menyuarakan kehadiran-Nya dan mengusir keluar keriuhan.  Hal-hal ini meliputi pembacaan Alkitab, beribadah di gereja dan membaca buku-buku kontemplasi – seperti buku-buku Cistercian, dll.
Kesimpulannya, keberadaan-Nya hadir dan selalu hadir. Ia hanya menunggu kita untuk mendengar Dia di dalam kesunyian.  hadapilah rasa takut hilangnya keriuhan dan masukilah kesunyian itu.

[1]    Basil Pennington OCSO, The Monks of Mount Athos: A Western Monks Extraordinary Spiritual Journey on Eastern Holy Ground (Woodstock, VM: Skylight Paths, 2003)
[2]    Ibid.
(Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari karya Matt Grey “Hearing the Silence”)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar