Minggu, 31 Oktober 2010

Bolehkah Kita Membawa Naskah Khotbah ke Mimbar?

Beberapa waktu lalu salah seorang mahasiswa bertanya kepada saya, “apakah pengkhotbah tidak boleh membawa naskah atau catatan khotbahnya ke mimbar ketika menyampaikan firman Tuhan?” Saya balik bertanya, “kenapa tidak boleh?” Dia menjawab bahwa pendeta, di mana ia praktek pelayanan, tidak pernah
berkhotbah dengan membawa catatan ke mimbar, bahkan hanya untuk selembar kecil outline. Pendeta tersebut terganggu ketika melihat mahasiswa tersebut berkhotbah dengan membawa lembaran kertas dan menegurnya seusai kebaktian.

 
Agak terkejut juga saya mendengar jawaban pendeta tersebut, namun saya tidak jelas apa yang menjadi alasan keberatan untuk membawa catatan khotbah ke mimbar. Berhubung ketika saya berkhotbah dengan membuat naskah khotbah lengkap atau minimal outline khotbah, maka saya mencoba mendapatkan sumber tertulis yang lebih kredibel dan supporting untuk menjelaskan urusan catat-mencatat khotbah tersebut.
 
Untuk itu saya merujuk buku homiletik anyar tulisan Benny Solihin yang berjudul 7 Langkah Menyusun Khotbah Yang Mengubah Kehidupan. Buku terbitan SAAT ini ditulis oleh seorang pengkhotbah dan dosen Homiletik yang mengambil studi S-2 dan S-3-nya di Amerika khusus bidang khotbah. Saya mengambil bagian-bagian yang berhubungan dengan catatan khotbah supaya mereka yang bergumul dengan topik ini dapat menentukan pilihannya sendiri secara bijak. Apakah mau membuat catatan khotbah atau tidak?
 
Benny Solihin menyatakan bahwa ada 3 jenis pengkhotbah dilihat dari hal catatan khotbahnya, antara lain:
  1. pengkhotbah yang terbiasa tanpa naskah/struktur khotbah
  2. ada pengkhotbah yang menulis struktur/outline saja
  3. ada pengkhotbah yang menulis naskah khotbahnya dengan lengkap
Solihin membuat analisa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing jenis tersebut:

 
Pengkhotbah jenis pertama --- berkhotbah tanpa naskah biasanya memiliki kepercayaan diri yang terlalu besar. Tetapi memiliki resiko tinggi seperti alur pikir pengkhotbah mungkin tidak akan terstruktur dengan baik. Khotbah bisa melebar atau menyimpang dari seharusnya; apalagi pada saat konsentrasi atau kesehatan pengkhotbah tidak dalam keadaan prima. Resiko yang lain adalah tidak semua informasi yang seharusnya disampaikan mampu diingat pada waktu berkhotbah.

 

Jenis kedua merupakan jenis yang lebih baik dari yang pertama. Cara ini membuat alur pikir khotbah lebih terstruktur. Pengkhotbah lebih pasti dari mana ia akan mulai dan ke mana akan berakhir. Namun kelemahannya bisa jadi kalimat-kalimat yang diucapkannya tidak tertata dengan baik. Kalimat-kalimat yang sama mungkin terucap berulang-ulang atau kalimat yang satu dengan yang berikutnya tidak nyambung. Sudah pasti hal ini akan membingungkan pendengar.

  
Alternatif yang terbaik adalah menulis naskah khotbah secara lengkap. Cara ini memiliki banyak kelebihan:

 
  1. Pengkhotbah dipaksa memikirkan lebih dulu apa yang dikatakannya, bukan hanya kerangkanya saja tetapi kalimat per kalimat. Dengan begitu, ia sudah harus bekerja keras untuk menuangkan pikirannya dengan kalimat-kalimat tepat jitu: tidak terulang, tidak mubazir, tepat sasaran.
  2. Pengkhotbah mempunyai waktu untuk mengedit dan mengedit lagi sampai ia menemukan kalimat-kalimat yang paling efektif dan komunikatif dalam menyampaikan pikiran-pikirannya. Pengeditan seperti ini mustahil dilakukan apabila pengkhotbah berkhotbah tanpa naskah atau hanya dengan kerangka khotbah saja. Banyak kata-kata dan kalimat yang tidak efektif keluar dari mulut pengkhotbah tanpa disadari sepenuhnya sampai ia belajar menulis lengkap seluruh naskah khotbahnya.
  3. Pengkhotbah dapat menggunakan waktu khotbah dengan lebih baik. Dengan menulis, ia dapat mengatur materi khotbahnya sesuai dengan waktu khotbah yang tersedia.
  4. Dalam jangka panjang, kebiasaan menulis naskah khotbah meningkatkan kemahiran pengkhotbah dalam menggunakan kata-kata yang tepat sehingga power khotbah-khotbahnya meningkat.
  5. Penulisan naskah khotbah akan menjadi arsip yang tak ternilai bagi pengkhotbah terutama pada saat daya ingat pengkhotbah mulai menurun. Bahkan mungkin saja, kelak arsip-arsip khotbah itu bisa diterbitkan menjadi sebuah buku yang menjadi berkat bagi orang banyak.
Beberapa keberatan dan solusinya:

 
Walaupun cara yang terakhir ini sangat baik, tetapi tidak banyak pengkhotbah yang melakukannya.

 
Alasan utamanya antara lain: mereka tidak terbiasa menulis dan merasa lebih nyaman untuk langsung berbicara. Tetapi kita telah melihat resikonya yang cukup tinggi.

 
Alasan kedua mereka tidak memiliki waktu untuk menulis naskah khotbah secara lengkap. Sesungguhnya bagi hamba Tuhan yang begitu sibuk, waktu menjadi barang yang sangat mahal. Tetapi perlu diingat , untuk menghasilkan khotbah-khotbah berkualitas tidak pernah ada jalan pintas.

  
Alasan ketiga adalah bahwa khotbah yang ditulis menghasilkan khotbah yang kaku, tidak komunikatif.

Alasan ini masuk akal, bahasa tulisan memang beda dengan bahasa lisan. Berkhotbah dengan bahasa tulisan akan membuat pendengar bosan. Yang sebaiknya dilakukan oleh pengkhotbah adalah menulis naskah khotbahnya dalam bentuk bahasa lisan. Pada waktu menulis ia perlu membayangkan bahwa ia seolah-olah sedang berbicara di mimbar kepada jemaat. Kemudian pada waktu berkhotbah, pengkhotbah sebaiknya berkhotbah lepas dari teks seolah-olah dia tidak menulis naskah khotbahnya. Naskah khotbah hanya dilihat bila diperlukan, sehingga sebagian besar waktunya bisa dipergunakan untuk kontak mata dengan pendengar. Cara ini hanya mungkin dilakukan bila pengkhotbah telah menghayati isi khotbahnya.


 
Kembali ke judul di atas, adalah hak anda untuk menjawabnya. Namun bagi saya, menulis lengkap naskah khotbah adalah pilihan sehat dan bertanggung jawab, baik kepada jemaat dan sang Pemilik Firman itu sendiri.

 

 

 

 

 
posting by Johannes L.

1 komentar: