Kamis, 25 November 2010

Quo Vadis


Mahasiswa/i APT?
Ceramah singkat tentang peran AT-APT selama 1 dasawarsa

Mau Dibawa Kemana?

Semuanya telah kuberi
Dengan kesungguhan hati
Untukmu hanya untukmu
Tak perlu kau tanya lagi
Siapa pemilik hati ini
Kau tahu pasti dirimu


By: Armada Band

Menyiapkan Calon Gembala yang “Sempurna”

“No pastor – or seminary – is perfect. But with their unique emphases, these seminaries ensure the development of mature Christian leaders.”





Seseorang pernah mendeskripsikan figur seorang pastor yang sempurna, pribadi yang semua anggota jemaat (dalam teori) pasti senang menerimanya.

Deskripsinya sebagai berikut:

  1. “Gembala itu berusia 26 tahun dan memiliki pengalaman berkhotbah selama 30 tahun.
  2. Dia adalah pemimpin besar, tetapi juga mengikuti keinginan jemaat.
  3. Dia harus berbadan tinggi namun juga pendek, kurus namun gemuk, dan sudah tentu harus ganteng, dengan mata kanan coklat dan mata kiri biru.
  4. Rambutnya dibelah tengah, sebelah kanan berwarna pirang lurus, sebelah kiri berwarna gelap berombak.
  5. Gembala itu haruslah seorang sarjana yang brilian namun seorang komunikator yang membumi.
  6. Memiliki keinginan yang membara untuk bekerja bersama orang-orang muda, namun juga harus menghabiskan waktu bersama orang-orang yang tua.
  7. Minimal sehari menelepon 15 anggota jemaat dan secara konstan pergi keluar menginjili orang-orang yang terhilang.Namun juga harus standby di kantor gereja jika sewaktu-waktu ada tamu atau jemaat tak terduga yang berkunjung.”
Apakah kita menemukan orang seperti itu? - Tentu tidak

Demikian halnya dengan mempersiapkan pelayanan pastoral, tidak ada satu patokan atau pedoman yang baku. Perlu diperhatikan bahwa seminari memiliki kesempatan untuk mengasah pikiran dan hati mahasiswa hanya selama 3-4 tahun saja. Para pendidik di seminari menyadari bahwa ketika para pria wanita ini diwisuda, mereka masih harus terus belajar. Bagaimana pun juga, jika para calon gembala (fresh graduate) menunggu hingga mereka dapat menguasai segala sesuatu yang perlu mereka ketahui, sesungguhnya mereka tidak akan pernah memasuki pelayanan.

Sekolah teologi harus membuat keputusan berdasarkan prioritas. Apa yang paling utama?
- Penyediaan pengetahuan Alkitab dan teologi?
- Spiritual formation dan membangun karakter?
- Membangun kemampuan berkhotbah?

Mana yang akan kita pilih dari ketiga item di atas?
 
1. Transfer Ilmu
Bukan sekolah teologi namanya bila tidak menaruh perhatian kepada akademik.
Terlepas dari pilihan apa pun, sekolah teologi selalu menyediakan pengetahuan tentang Alkitab dan alat-alat bantu untuk menafsirkannya.
 

Co: Slogan dari Multnomah Biblical Seminary di Portland, Oregon, USA. “If it’s bible you want, then you want Multnomah.

Sekolah ini mengidentikkan “teaching God’s Word through Bible and Theology Courses” sebagai prioritas utama.
Pola yang sama juga terlihat pada sekolah lainnya seperti: Asbury Theological Seminary (Wilmore, Kentucky); Reformed Theological Seminary; Fuller Theological Seminary.

Slogan dari Fuller Theological Seminary:
“Fuller takes great care in its attention to the classical approaches to pastoral ministry education, emphasizing a thorough study of the Scriptures, biblical research and exegesis, and church history.”

Ketika beberapa sekolah teologi tidak lagi menekankan bahasa asli Alkitab, lainnya tetap vokal, seperti Ansbury, di mana bahasa Yunani dan Ibrani merupakan mata kuliah wajib untuk gelar Master of Divinity (M.Div.).
Hal yang sama berlaku juga di Beeson Divinity School, di mana mahasiswanya mempelajari bahasa Ibrani selama 4 semester dan bahasa Yunani 4 semester selanjutnya.


• Pembantu dekannya (Paul House) berkata: “Lulusan kami tidak akan membuang-buang waktu di dalam membaca buku-buku tafsiran (commentary), mereka mempelajari perikop dalam bahasa aslinya dan dapat menafsirkannya jauh lebih dalam dari apa yang buku tafsiran berikan.”

Evaluasi APT
Prospektus APT menuliskan tujuan lembaga pendidikan ini (h.2):
“Memberikan pengetahuan tentang Allah dan firman-Nya dengan mengajarkan Alkitab dan Teologia dengan suasana Pentakosta/Karismatik dalam menyerap kebenaran Firman Allah dalam terang Roh Kudus.”

Saya pribadi menilai bahwa mata kuliah yang diberikan oleh APT telah cukup untuk memberikan bekal kepada para mahasiswa, dengan beberapa catatan:
  1. Peran mahasiswa harus lebih besar di dalam menggali dan mengolah pengetahuan dengan perangkat-perangkat yang telah diajarkan (juga minat baca dan riset perpustakaan harus ditingkatkan!!)
  2. Spesialisasi dosen dengan keahlian khusus dan pengembangan keilmuannya. Selain mengajar dosen juga harus menulis karya ilmiah untuk menunjukkan bahwa ia qualified di bidangnya dan tetap mengikuti isu-isu yang berkenaan dengan mata kuliah yang diampunya
  3. Mencarikan sponsor bagi mahasiswa berprestasi dalam nilai akademik dan meningkatkan kualitas dosen dalam dengan berbagai seminar atau kuliah lanjutan (S-2 atau S-3). 

2. Tujuan dari Pengetahuan
Supaya tetap relevan dengan gereja yang mereka layani, sekolah teologi secara umum tidak memperlakukan pengetahuan sebagai tujuan akhir dari proses belajar mengajar.
Semua mengarah pada pertanyaan ini:
“Bagaimana kuliah-kuliah ini dapat membantu kemampuan saya untuk mengajar di gereja lokal?”

Prof. Todd Mangum: “we refuse to treat the Bible as a textual specimen, an object merely to analyze. Instead , we interact with Scripture as the authoritative instrument of the Spirit of God, who desires to speak through his inspired Word to his people today.”
Contoh lain pendidikan model Alkitabiah yang dikembangkan oleh Iowa-based Antioch School of Church Planting and Leadership Development.

Sekolah ini agak berbeda dibanding dengan sekolah tradisional yang memakai pendekatan “in-service” (dosen datang ke kampus).
Antioch School menekankan “on-job” dimana mahasiswanya pergi ke gereja-gereja (punya network dengan gereja) dan di tengah-tengah team pelayanan.

Stephen Kemp (dekan akademik): “We think that Paul-Timothy model was much more than serious mentoring. 2 Timothy 2:2 provides a pattern for in-service training that involves real ministry in real churches…. The Antioch School is conscientiously aligned with this pattern.”

Kemp menambahkan bahwa kunci pendidikan teologi berbasiskan gereja adalah peran utama dari Pemimpin-pemimpin Gereja yang Tuhan sudah tempatkan pada posisinya sekarang untuk mengajar para mahasiswa.
Sekilas model Antioch School ini seperti yang pernah ditampilkan oleh filsuf Yunani bernama Sokrates, menampilkan diskusi antara murid dan pemimpin besar.

Bahkan lebih jauh lagi, Antioch School tidak memberikan evaluasi (ujian mid or final), namun mengganti cara tradisional tersebut dengan paper-paper survei hasil pengamatan mahasiswa mengenai strategi pelayanan, karakter personal gembala dan pengalaman aktual dalam pelayanan.
 
Quo Vadis APT
Perlu dipikirkan ke depan, model magang di gereja lokal yang berhasil. Bukan sekedar datang pelayanan Sabtu-Minggu.
Namun bisa 1-2 bulan magang di kantor sekretariat Gereja, mengikuti semua kegiatan pelayanan, dan ada waktu khusus untuk mentoring dengan gembala senior untuk alih pengalaman.

Saya juga berpikir bahwa perlu bagi sekolah teologi memiliki media cetak atau web. Untuk apa? Untuk mempublikasikan hasil karya kalangan akademisinya supaya bisa relevan (menjawab) pergumulan gereja.
Kerinduan saya: Sekolah Teologi menjadi Think Tank (tempat menggodok isu-isu teologis, pastoral, etika, dll) dan bisa memberi “ready made answer” bagi gereja.

Bahkan seharusnya Sekolah Teologi bisa melihat dan memprediksi ke arah mana angin teologi, kebijakan organisasi gereja pusat serta kecenderungan dunia (masyarakat ini) bergerak, sehingga tidak gagap di dalam menanggapinya.

3. Pembentukan Rohani

Tahun-tahun belakangan, sekolah-sekolah teologi di Amerika telah menyadari bahwa tanpa mengurangi pentingnya teologia, persiapan untuk pelayanan telah bersifat “terlalu” akademik.
Gembala yang efektif bukanlah ensiklopedi / kamus Alkitab berjalan, tetapi orang yang bertumbuh spiritualitasnya, punya karakter moral yang bertambah kuat & tahu bagaimana menjalin hubungan dengan orang lain.

Asbury’s Kalas: “We believe that leaders who will reach others for Christ need to have a solid foundation in their personal relationship with God.”
Banyak orang berpikir bahwa spiritual formation secara otomatis terbentuk di dalam pengalaman di sekolah teologi. - Belum tentu!

Di Multnomah School, para pendidik menekankan kepada para mahasiswa bahwa hati itu sepenuhnya jahat dan menipu, dan orang yang menginginkan spiritual formation yang benar harus menyerahkan hatinya dan memiliki telinga yang peka terhadap Roh Kudus. Mereka juga harus belajar kepada orang-orang yang telah bertumbuh dalam Roh, yang punya kuasa menasehati dan menegur hidup para mahasiswa.

Mahasiswa diwajibkan untuk mengikuti Prayer Meetings, Chapel, keterlibatan pelayanan di gereja lokal dan program mentoring. Sementara di Antioch School, karakter agak lebih diutamakan daripada pengetahuan atau kemampuan melayani. Banyak pengajar berbicara mengenai “tahu”, “menjadi”, “lakukan” atau model “hati”, “kepala”, “tangan”, “kaki.”

Antioch School berusaha menyeimbangkan antara penekanan pada karakter, kemampuan dan pelayanan.
 
4. Membangun Skill Pelayanan
Orang boleh berpendapat bahwa tidak peduli sehebat apa kemampuan pelayanan seseorang namun ia tidak memiliki kedewasaan rohani. Namun orang juga dapat berpendapat bahwa sekalipun kedewasaan rohani itu penting namun itu tidak akan cukup efektif untuk pelayanan jika ia tidak memiliki skill.

Sekolah teologi tidak akan komplit bila tidak memberi perhatian untuk membantu mahasiswa mengenali dan mengembangkan kemampuan (skill) pelayanan mereka (karunia-karunianya). Multnomah School menganggap bahwa kelas-kelas berkhotbah dan kepemimpinan merupakan sesuatu yang sangat serius.

Slogannya: “The first day pastors sit behind [their] desk, they should know what to do and where to begin.”


Prioritas Berkhotbah

Hampir semua setuju bahwa berkhotbah adalah kemampuan paling utama yang diharapkan mahasiswa untuk dikembangkan selama kuliah.

Mayoritas jemaat di gereja akan mentolerir banyak kekurangan pendetanya selama pendeta tersebut dapat secara konsisten mengkhotbahkan Firman Tuhan yang sesuai dengan pergumulan aktual jemaat dan memberikan kekuatan kepada jemaat untuk melewatinya.
Bagaimana pendapat saudara?

Reformed Seminary menyadari hal tersebut dan meminta Steve Brown (highly gifted communicator --- punya pelayanan terkenal Key Life Ministry dan pelayanan radio) untuk menjadi dosen.
Beeson School menyatakan: “to provide what students must have to fulfill the biblical portrait of a pastor who can preach.”

5. Membangkitkan Kepekaan Kultural

Sekolah teologi di US sekarang sedang meningkatkan kurikulum dan pendekatan ilmiah dalam rangka menjaga gereja tetap relevan dengan dunia yang kompleks. Sebagai contoh ketika terjadi peristiwa WTC 11 September 2001, beberapa seminari menambahkan kuliah semacam konseling krisis di dalam kurikulumnya.

Hal ini membutuhkan keinginan dari seminari untuk beradaptasi dengan waktu yang terus berubah dan meningkatkan kesadaran kultural mahasiswanya. Multnomah School menyediakan praktek lapangan di mana mahasiswanya dapat berdialog dengan tokoh atau pemimpin dari agama-agama non-Kristen.

Di lain pihak, sekolah teologi juga harus punya penekanan yang kuat untuk menjadi agen perubahan di tengah-tengah dunia. Statement dari Asbury School: “We want to prepare our students to be sensitive to people, to their needs and their potential. We seek in every way to instill a love for parish minitry.”
Kesimpulan. Dengan hanya 3-4 tahun, adalah sesuatu yang hampir mustahil bagi sekolah teologi untuk mengubah mahasiswa menjadi pribadi yang dewasa rohani, sarjana kelas 1 bidang Alkitab, administrator yang hebat, dan pengkhotbah andal, yang selalu peka dengan konteks kulturnya.

Dengan kata lain, tanpa mengesampingkan banyaknya nilai positif yang dihasilkan oleh seminari, namun tidak ada satu pun sekolah teologi yang dapat mengklaim telah menghasilkan pendeta yang sempurna.
Namun sekolah teologi menghasilkan para lulusan yang terus mengejar kedewasaan rohani, telah mengambil teladan positif selama di seminari dan membantu orang lain melakukan hal yang sama dengan berkaca pada dirinya.

Mereka mungkin bukan teolog terkemuka namun khotbah-khotbahnya dan pelayanan pastoral mereka berakar dengan kuat pada teologi alkitab. Meskipun tidak sempurna, mereka adalah hamba Tuhan yang menyadari keterbatasannya dan yakin bahwa Allah menempatkan mereka di tempat yang Allah mau mereka berada.

Bagaimana dengan saudara nanti?

Kiranya ceramah ini bisa membuka cakrawala pikiran dan hati kita, minimal menjawab pertanyaan mengapa saya ada di sekolah teologi dan apa yang harus saya lakukan selama di sini.

Tuhan memberkati kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar