Terlepas dari ribut-ribut panjang antara
yang pro dan kontra tentang keberadaan Allah, sebenarnya isunya lebih sederhana
– yaitu kenyataan pengalaman yang melebihi teori (baca: doktrin). Faktanya adalah ini: Allah tidak berjalan masuk
ke ruang tamu kita, duduk-duduk di sofa dan berbicara kepada kita.
Tentu saja, ketidakhadiran atau
“diamnya” Allah, adalah amunisi bagi mereka yang menentang keberadaan
Allah. Allah sepertinya mewahyukan
diri-Nya dalam cara-cara yang ambigu: berbicara dengan suara kecil,
kebetulan-kebetulan yang menarik, sebuah buku kuno (penuh dengan cerita-cerita
dari masa lampau di mana Ia dikatakan datang kepada manusia secara nyata). Jika Ia eksis, mengapa Allah tidak datang
saja langsung untuk memerintah dan menunjukkan diri-Nya sekarang? Jawaban logisnya, adalah karena Ia tidak
eksis.
Namun sesungguhnya, “diamnya” Allah
bukanlah masalah utama. Masalahnya
adalah pengalaman. Yaitu pengalaman
orang-orang yang mengatakan kepada anda bahwa ada Allah yang mengasihi anda,
lalu anda berusaha mencari-Nya namun anda tidak dapat menemukan-Nya. Ini kenyataan yang memahitkan hidup. Dan
akhirnya anda sampai pada titik: “Ia tidak berbicara kepada saya, maka saya
juga tidak akan bicara kepada-Nya.”
Kadang-kadang orang Kristen juga
berhadapan dengan kesunyian. Ketika hal
itu terjadi, kita juga bertanya apakah Ia hadir bagi kita? Bukankah kita juga pernah melewati hal
seperti ini. Di saat-saat seperti ini,
kutipan dari rahib Cistercian bergema bagi kita: “Silence is the very Presence
of God – always there. But activity hides it. We need to leave activity long
enough to discover the Presence – then we can return to activity with it. [1]
Kesunyian selalu melingkupi dan
tidak pernah meninggalkan anda. Ia hanya tersembunyi. Ironisnya, kesunyian diredam oleh suara. Kesunyian tidak pernah hilang, ia hanya
menunggu anda untuk menghentikan keriuhan dan memasang telinga untuk mendengar.
Celakanya, dari semua orang yang
pernah hidup di dunia, kitalah yang paling menderita di dalam menemukan kesunyian. Kita mendengar musik, bunyi TV, motor/mobil
berkeliaran, suara istri dan anak kita, derai tawa tetangga rumah, semuanya
berebut masuk ke telinga kita. Bahkan di
saat kita bisa mendapatkan kesunyian, malah pikiran kita tetap berisik. Pikiran kita meng-echo, bahkan membunuh kesunyian.
Jangan-jangan dikarenakan kita mulai takut dengan kesunyian. Kesunyian menjadi sesuatu yang aneh, asing
dan menakutkan. Seperti hidup dalam kehampaan.
Bagaimana dengan Allah? Apakah Allah seperti gambaran guru, yang
berdiri diam-diam di muka kelas, menunggu seluruh kelas yang ribut untuk duduk
diam sebelum memulai pelajaran? Di sini
kita bisa memahami diam-Nya Allah, bukan karena Ia pada hakekatnya diam, tetapi
karena kita menolak untuk meredam “ributnya” kita.
Ada 2 solusi untuk hal ini dalam
tradisi kekristenan. Pertama adalah
solusi dari rahib-rahib Cistercian. Mengeluarkan
keriuhan secara perlahan dan menanti hadirat-Nya. Kutipan selanjutnya dari rahib Cistercian: “…
I went out on the balcony… The Lord came in power. My whole being longed to be
dissolved and be in complete union…. I finally went to bed and continued in the
Presence. How I wish my every moment could be in this painful, sweet state.”
[2]
Hal itu mungkin cocok bagi rahib
Cistercian. Tapi sulit bagi kebanyakan
kita untuk sampai ke sana. Solusi kedua
mungkin lebih mudah bagi kita. Yaitu meneruskan
tradisi yang Ia sudah berikan kepada kita sebagai “megafon” untuk menyuarakan
kehadiran-Nya dan mengusir keluar keriuhan.
Hal-hal ini meliputi pembacaan Alkitab, beribadah di gereja dan membaca
buku-buku kontemplasi – seperti buku-buku Cistercian, dll.
Kesimpulannya, keberadaan-Nya hadir
dan selalu hadir. Ia hanya menunggu kita untuk mendengar Dia di dalam kesunyian. hadapilah rasa takut hilangnya keriuhan dan
masukilah kesunyian itu.
[1] Basil
Pennington OCSO, The Monks of Mount Athos: A Western Monks Extraordinary
Spiritual Journey on Eastern Holy Ground (Woodstock, VM: Skylight Paths,
2003)
[2] Ibid.
(Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari karya Matt Grey
“Hearing the Silence”)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar